Teh, Produk Jatiluwih yang Mulai “Hangatkan” Bali

TABANAN – Pantau Bali, Selain pesona terasering alam pesawahannya, Desa Jatiluwih Kecamatan Penebel, Tabanan juga dikenal dengan produk beras merahnya. Kini, oleh seorang petani asal Bandung yang sejak beberapa tahun lalu menetap di desa tersebut, Jatiluwih telah menambah produk baru berupa teh, selain dengan teh beras merahnya.

Petani teh di Desa Jatiluwih yang sekaligus pula pionir petani teh di Bali Wawan Setiawan kepada awak media ini menuturkan, budidaya teh yang dilakoninya ini berawal dari pengalaman masa kecil di tempat kelahirannya yakni di Bandung yang biasa melihat kawasan kebun teh. Pensiun dari mengelola usaha kerajinan berbahan dasar kulit, pada Januari 2011 lalu ia mencoba menanam 125 pohon teh pada lahan pribadinya di Jatiluwih.

“Uji coba budidaya teh tersebut saya lakukan pada lahan seluas kurang lebih dua are dengan jarak tanam 60 sentimeter. Bibit saya beli langsung di Bandung dengan harga Rp. 15 ribu per bibit,” ungkapnya.

Baca Juga:  DPRD Tabanan Perjuangkan Bantuan Sarana Prasarana untuk Nelayan

Uji coba budidaya teh pada lahannya di Jatiluwih ini dilakukannya dengan biasa-biasa saja namun diawali dengan sebuah ritual sederhana dan proses tanam hingga panen seratus persen organik. Adapun pupuknya dengan memanfaatkan kotoran burung sriti yang berkembang biak di kediamannya.

Dua tahun kemudian, pria kelahiran 27 Oktober 1957 ini mulai memetik hasil uji cobanya membudidayakan tanaman teh di Jatiluwih. Dari panen perdananya itu ia berhasil memetik satu kilogram daun teh untuk selanjutnya dipanen secara rutin tiap minggu sekali. Selain juga dari sebagian pohon teh yang kini tumbuh subur dikebun samping kediamannya itu ia manfaatkan untuk bibit.

Agrowisata Teh
Sejak beberapa tahun lalu, selain untuk diolah menjadi teh siap konsumsi, pemilik Code Blue Clinic ini juga telah memperluas lahan budidaya tehnya pada empat lokasi berbeda namun masih disekitaran kediamannya. Adapun total lahan budidaya teh tersebut seluas dua hektar dengan total pohon yang ditanamnya sebanyak 20 ribu pohon.

Sementar pemasaran hasil panen budidaya tehnya ini kini telah mulai merambah pasar lokal, terutama di sebuah restoran dan beberapa cafe di Bali. Selain juga dibeli langsung oleh wisatawan yang menginap di villa miliknya yang bernama D’Wan Tea Bali.

Baca Juga:  Menjelang PPDB, Komisi IV DPRD Tabanan akan Koordinasi dengan Disdik

Teh produknya yang memiliki kelebihan dengan istilah biodynamically cultivated ini dipasarkan dengan dua kemasan menarik. Yakni dengan kemasan kaleng kecil isi 50 gram dengan harga jual Rp. 50 ribu dan kemasan bungkus kertas seharga Rp. 175 ribu dengan berat 250 gram.

“Kelebihan produk teh kami ini adalah adanya proses ritual sebelum ditanam dan sebelum dipanen serta 100 persen organik. Sehingga disebut teh biodynamically cultivated,” jelasnya.

Baca Juga:  Bupati Tabanan Serahkan LKPD Unaudited Kepada BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

Kehidupan Wawan Setiawan membudidayakan tanaman teh di desa yang dikenal sebagai penghasil beras merah ini mulai diminati oleh beberapa petani lokal. Iapun dengan senang hati berbagi pengalaman membudidayakan tanaman teh untuk memanfaatkan lahan tegalan ataupun lahan tidur disekitar Jatiluwih.

Ia menjelaskan sejatinya disekitaran Jatiluwih dengan ketinggian lahannya diatas 600 meter dari permukaan laut sangat cocok untuk budidaya teh. Produk teh sendiri dikonsumsi oleh hampir semua kelompok umur. Investasi hanya sekali tanam dan teh bisa dipetik seumur hidup.

Itu artinya lanjut pria murah senyum ini, budidaya teh sangat layak dilakukan para petani diseputaran Jatiluwih. Terutama para petani yang memiliki lahan tidur.

Sebagai destinasi wisata yang cukup terkenal, dengan membudidayakan tanaman teh juga akan menjadi penambah daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Jatiluwih.

“Budidaya teh bisa dijadikan sebagai wisata agro,” tutupnya. Pantau Bali, Rah